Jumat, 13 Juli 2012

Retoris

Semuanya berkecamuk, bersaing, saling adu di pikiranku. Meledak-ledak, ingin tertuangkan lebih dulu di halaman berikutnya.

It’s all about relationship (again). Ketika sebuah hubungan tidak lagi dipermainkan, atau dijadikan ajang coba-coba. Ketika usia sudah mencapai pangkal kematangan. Dan akhirnya aku bisa melihat bahwa ‘the real life has just begun’.

Kedewasaan dalam berfikir, berkata, dan bertindak dituntut untuk menjadi bijaksana. Selalu berhubungan dengan pemikiran; ‘bagaimana aku nanti’ atau ‘bagaimana kamu nanti’ atau ‘bagaimana kita nanti’. Sebuah pertanyaan retoris, dan hanya dia, waktu, yang bisa menjawabnya.

Sembari berfikir, dan selalu muncul angan-angan diselanya. Semuanya akan terlihat indah disana, memandang ke atas, membayangkan apa yang akan terjadi besok. Seolah kita adalah Tuhan, yang mengatur semuanya sesuai kehendak. Seolah kita adalah satu-satunya Adam dan Hawa yang Dia ciptaKan.

Tapi selalu ada kekhawatiran, yang membisikkan halusnya benang kusut itu diantara angan. Mengingatkan kita, akankah semuanya berjalan sesuai dengan keinginan. Akankah semua bisa siap untuk melihat kenyataan nantinya, apabila doa-doa kita telah dikabulkan.

Retoris.

Masih belum bisa, menghilangkan ketakutan. Walaupun aku tahu tangan Tuhan sedang menggenggam hati. Tak jarang air mata lah yang berperan di sini, menetralkan lagi suasana yang gusar karena rasa takut yang enggan pergi.


Seekor Kelinci yang sedang mempersiapkan diri sebelum dia ditinggalkan sang kekasih, Beruang, untuk hibernasinya. Menunggu dia terbangun, sembari menata hati.”

0 komentar:

Posting Komentar