Jumat, 29 Juni 2012

Tidak tahu, angin membawa kabar apa malam ini. Wajahnya pun tak bisa ku lihat. Sepertinya angin hanya merindukan ku lewat dinginnya. Terjemahkanlah semua pintanya lewat lagu ini. 
Seringan Awan
by Homogenic

Di sini semua berawal
Walau seribu tanya bicara
Terbungkam oleh pesona
Tanpa arah, semakin jauh ku bertahan

Haruskah ku hilang, tanpa pesan
Akankan ku rindu, semua kesan

Sentuhlah hatiku, rasakannya berbeda
Rengkuhlah pikirku, bawaku ke duniamu
Dengarlah harapku, akankah kau mengerti
Bila hadirmu buat hatiku, seringan awan


Di sini semua terungkap
Walau nyata enggan berkata
Terbungkam oleh prahara
Tanpa arah, semakin jauh ku bertahan


Haruskah ku hilang, tanpa pesan
Akankan ku rindu, semua kesan


Sentuhlah hatiku, rasakannya berbeda
Rengkuhlah pikirku, bawaku ke duniamu
Dengarlah harapku, akankah kau mengerti
Bila hadirmu buat hatiku, seringan awan


Sentuhlah hatiku, rasakannya berbeda
Rengkuhlah pikirku, bawaku ke duniamu
Dengarlah harapku, akankah kau mengerti
Bila hadirmu buat hatiku, seringan awan 

Senin, 18 Juni 2012

One Big Step



Everything goes different.
Everything has changed.

24 November, awal dari sebuah perubahan besar, terucap kata-kata bermakna, namun sedikit teroles emosi sesaat. Sebuah kedai kopi, yang menjadi saksi bagaimana kita mencari jalan keluar, mencari kata-kata yang tepat, untuk mencerminkan apa yang dirasa, apa yang dituntut, dan apa yang perlu dikoreksi. Kesalahan satu kata akan merubah segalanya.

Berhati-hati memilih dan memilah, bermain ekspresi, mengutak-atik pola pikir, dan menyeimbangkannnya dengan tingkat emosi. Menyusunnya, namun terdapat sedikit ikut campur oleh otak kecil di bawah sadar.

Hingga pada akhirnya, terlontar sudah keputusan, yang menurut ku adalah sebuah win-win solution. Sedangkan  lawan bicara ku saat itu adalah orang yang sangat keras kepala, tak mempercayai sebuah win-win solution itu benar-benar ada. Sangat berat, sepertinya nafas ku berhenti sesaat ketika semuanya hendak terucap. Air mata tak bisa terbendung.

Keheranan muncul,  entah mengapa keputusan-satu-sisi ini mengagetkan kedua belah pihak. Apakah pemikiran yang kurang matang atau perundingan sang otak dan sang hati yang tidak menemukan titik terang?

Konflik bermunculan. Tak henti-hentinya. Mengorbankan orang-orang di sekitar. Konspirasi mulai disusun. Sedangkan diriku yang polos, hanya menerima kenyataan. Berharap pada sebuah bayangan abstrak, dengan waktu yang sangat infiniti.

Menunggu sesuatu yang sangat tak pasti, dengan berbagai batu karang yang menghadang di jalan.

Tiba saatnya, yang biasa mereka sebut klimax, meniupkan anginnya. Ketika hati sudah terlalu banyak menahan luka, tak bisa menahan lagi beban yang dipikul, meledak lah, lalu bersua kepada sang otak, berdamai untuk bekerja sama keluar dari hal yang sangat tidak pasti ini. Sudah berapa banyak telinga, mulut, air mata, logika, perasaan,nafsu, emosi, dan hati yang menjadi korban, atas konspirasi yang telah dia buat.

Apalagi setelah semuanya telah lepas. Hilang semua notasi yang biasa menghiasi kata-kata kita, walaupun sudah tidak lagi terikat. Komunikasi yang telah ditiadakan dengan sengaja, kebohongan-kebohongan yang mulai mencuat hanya demi harga diri, ataupun pembelaan di mata khalayak.

Terima kasih ku kepada mereka, karenanya aku bisa berpikir kembali, tentang sang hati yang telah terlalu menderita sakit karena keegoisannya, berkata sanggup dikala dia tak mampu. Sang logika mengetuk pintu hati, memasuki dengan penuh sopan dengan langkah kecilnya. Dia berbisik kepada hati yang sudah memegang pisau menuju nadinya, “coba pikirkan wahai Hati, apakah selama ini yang telah kau lakukan benar? Apakah kamu benar-benar mampu? Apakah kau yakin, semua yang telah kau lakukan ini akan mendapatkan balasan yang setimpal oleh dia yang kau harapkan? Apakah kamu sanggup menerima kenyataan, apabila nantinya semua itu salah? Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Coba pikirkan wahai Hati...”

Sang hati terdiam, butuh waktu berhari-hari dia menjawab.

Hingga saat itu datang, sang hati yang telah melihat kenyataan dan berunding dengan dirinya sendiri, mendatangi sang logika. Dia datang dengan wajah sangat bersinar, sepertinya dia telah menemukan harapan baru, dengan jawaban yang dia teriakan pada si logika, “YA! Aku telah melihatnya sendiri. Dan aku memutuskan untuk melangkahkan kaki ke jalan yang baru! Maaf aku telah menganggapmu tiada, dan mengabaikan semua tingkah lakumu di hadapanku. Sekarang aku benar-benar membutuhkanmu! Tolong aku. Aku sudah terlalu letih  menahan beban yang telah dia beri ke pundakku. Luka ku sudah terlalu parah, bahkan perban yang mereka beri padaku tak lagi bisa menutupnya. Tolong aku, aku hanya ingin bisa bernafas lega, biarkan tekanan itu hilang dan pergi selama-lamanya. Tolong tunjukkan jalan baru itu. Aku tak mau lagi dibutakan oleh kata-kata manis, ataupun kebohongan-kebohongan itu. Kenyataan telah menamparku keras. Dan itu membuatku sejenak tersadar. Tolong aku logika, sedikit perlihatkan kepadaku kemampuanmu melihat jalan ke depan...”

Sang logika hanya tersenyum kecil, sepertinya mengerti saat ini akan datang juga. Dia mendekap Hati, dan berkata dengan lembut, “Sebenarnya aku sudah memiliki perkiraan dan pemikiran seperti ini sejak jauh-jauh hari. Tapi kau lah yang  tetap keras kepala. Bukan maksud ku untuk mengajak kau menikung atau pun memilih jalan yang tak benar untuk keluar dari tekanan itu. Tapi aku hanya ingin menunjukkan beberapa solusi yang nantinya cepat atau pun lambat harus kau ambil. Namun, kembali lagi ke keras kepala mu yang mempertahankan posisinya, seolah dia tak tergantikan, padahal kamu tau aku sudah berkata bahwa dia sudah memiliki penggantimu, meski aku tau hatinya belum tersampaikan. Jangan salahkan pada tingkah lakunya yang menyebalkan ataupun kebohongan-kebohongannya, justru berterimakasih lah pada mereka, karena mereka lah yang memaksa pada kenyataan untuk menamparmu, sehingga tersadar dari lamunanmu selama ini. Sekarang berbaik lah kepadaku dan aku akan menuntunmu pada jalan baru, dan kau akan menemukan angin segar, serta rerumputan kebahagiaan di situ kelak. Aku juga tak mau bekerja sendirian, bantu aku juga dengan perasaanmu, kita harus bekerja sama. Agar semuanya seimbang. Mau kah kau berjanji dengan ku akan hal ini? Apabila suatu saat nanti terdapat keras kepala ku, maka aku minta kamu pahami dan ingatkan  aku. Agar tak ada penyesalan nantinya. Ingatkan juga pada sang Nafsu, untuk tak banyak ikut campur tentang masalah ini. Katakan padanya kalau kita akan memanggilnya ketika dia sedang dibutuhkan. Ya, kali ini kita akan membutuhkannya, agar kau dan aku cepat bangkit dari keterpurukan ini. Sudah, usap air matamu. “

Sang Hati bangkit menatap sang Logika, dan menyahut, “Wahai logika, ketika suatu saat nanti kita telah melangkah, dan ingatanmu kembali ke masa ini dan kemarin, aku minta kau untuk tidak menyesali apa pun dari semua ini. Tak ada yang perlu disesali sebenarnya. Semua hal baik akan menjadi kenangan, dan akan menjadi perbandingan nantinya. Sedangkan hal-hal pahit itu, jangan kau lupakan, jangan kau jadikan penyesalan. Mereka yang menjadi sebuah pelajaran bagi kita. Dan akan menjadi hipotesa pemikiran kita akan apa yang akan terjadi nantinya. Aku juga minta agar kau dan aku bisa sama-sama mengontrol aksi dia, sang emosi, lalu kita bisa tetap sejalan. Aku saip untuk bangun sekarang ...”

Setelah semua itu, gelisah, yang setiap pagi, siang, sore dan malam, datang tanpa permisi ke bilik sang Hati, tak pernah datang kembali. Walaupun terkadang sang Hati rindu. Tapi seketika sang Logika mengingatkannya.

Ini lah awal dari menghilangnya semua bayangan abstrak itu. Sang gelisah yang selalu datang beramai-ramai hanya untuk mengobrak-abrik pikiran, menginjak-injak hati, menyumbat aliran darah, memecut sang jantung, dan membuang-buang air mata kini tak lagi berani mengetuk pintu.

Thanks to God, who has made these realities become so meaningfull. :)