Minggu, 19 Januari 2014

" Tuhan, jadikan kami yang terakhir
Satu tanpa layu "

Kamis, 16 Januari 2014

"Bahkan kamu masih bisa membuat luka seka bekas tangis. Sembab gegara lara."

Sabtu, 11 Januari 2014

"Kenyataan itu getir sekali. Coba lihat sorot matamu."

Jadi masa 'lali'



Hampir dua tahun yang lalu, sebelum tubuhku membiru. Sebelum hamparan embun jadi derasnya hujan. Sebelum kesederhanaan menjadi idealisme. Tepatnya sebelum sepasang manusia mengakhiri segalanya...

Masih banyak yang belum terucap. Entah darimana kau akan tahu. Merpatimu pun sudah hilang arah akan tujuanku. Bersiul bahkan membisikkan tepat di telingamu saja mungkin sudah tak bisa lagi.

Bukan berkesudahan tanpa alasan.
Masa sulit itu, bertubi-tubi menyebar hitamnya dan aku hanya bisa berdiri di ujung, demi secerca harapannya. Dugaan akan masa ini memang benar. Di mana aku sekarang, di mana kau sekarang.

Sepertinya akan sulit kalau harus menjabarkannya terlalu detail di sini. Apa masih bisa aku tuliskan tepat di hatimu, dan pikiranmu tanpa harus mengucap kata. Ah, bodohnya aku. Bahkan menggerakkan bibir pun kau sudah larang aku. Hanya membuang waktu terdiam dan kau lihat air mataku, yang sebenarnya masih banyak terjebak, tak bisa mengalir ketika kau di hadap ku. Apa kau juga begitu?

Entah.
Banyak sekali, yang berkecamuk, mengamuk di otakku.
Berharap suatu hari nanti, ketika mereka meledak. Dan kau mampu meredamnya.
Tinggal menunggu sang waktu saja, dia sedang bermain api kali ini.
Dan sungguh, itu tidak menyenangkan sama sekali.

Komunikasi. Perasaan. Saling menghargai.
Mereka perlahan berjalan menuju ke ketidakpastian
Dengan hangatnya mereka disambut dengan waktu
Berjejal dengan sepakat di otakku, lalu menyatukan suara
Terucaplah kata itu

Harus suka atau tidak
Waktu sangat pintar berkompromi dengan semua
Bahkan dengan dia, yang telah membawaku di tubuhnya 21 tahun lalu
Dengan mereka yang selalu bergurau bersama ku dan buah hati mereka

Kau tahu?
Untuk kedua kalinya aku remuk karena hal seperti ini
atas campur tangan mereka.
Mengetahui apa yang sebenarnya ada di pikiran mereka
Tentang kita

Lalu mengapa harus sekarang?!
Mengapa tak diucap saja ketika belum merekah merah cintanya?!
Mengapa tak menjadi tegas bersahaja seperti biasanya?!
Mengapa harus sekarang?!


Lengkap sudah aku diremah-NyaHancur, tak sisakan bijihnya
Kau pasti tahu,
bagaimana rasanya diterbangkan tinggi sampai berhenti di langit ke enam
sedikit lagi menuju ke tujuhnya
mengambil nafas dan lagi untuk memantapkan hati
dan seketika dijatuhkan namun patahkan sayap-sayapnya dahulu
jatuh
pecah
menyerpih
lalu terbawa angin
hingga tak menyisakan jejak
bahkan entah kemana angin membawanya

Terima kasih untuk semuanya.
Untuk menjadi angin yang membawa hilang serpihannya
Bukan masa lalu yang pantas dikenang, namun masa lali yang memang pantas dilupakan
Tiup lebih kencang kalau serpihan itu datang berserakan
Turunkan hujannya biar menyatu dengan debu
lalu layu
Semoga tidak dengan kamu


Jika di setiap ritualku sudah terucap namamu
Yang selalu terselip setelah permintaan untuk karir ku
Jika pinta yang memang kubuat sedikit memaksa
Tak pernah absen dari khidmat ku
Lalu,
apa aku harus belajar bijak
mengerti jawaban dari-Nya?

Atau pura-pura menerimanya, dan kembalikan pada waktu
Menunggunya untuk dimintai pertanggung jawaban atas semua ini

Please understand me
It's not such that easy way
It's not as pure as you read from my words
Just read where the words come from
Where I should put you yesterday, today, and tomorrow
...if it is not going like this...


Forgive me.
"Seperti jangka. 
Aku mengitarimu dengan doa dan rindu sebagai pusatnya." - RP