Everything goes different.
Everything has changed.
24 November, awal dari sebuah perubahan besar, terucap kata-kata
bermakna, namun sedikit teroles emosi sesaat. Sebuah kedai kopi, yang menjadi
saksi bagaimana kita mencari jalan keluar, mencari kata-kata yang tepat, untuk
mencerminkan apa yang dirasa, apa yang dituntut, dan apa yang perlu dikoreksi.
Kesalahan satu kata akan merubah segalanya.
Berhati-hati memilih dan memilah, bermain ekspresi, mengutak-atik pola
pikir, dan menyeimbangkannnya dengan tingkat emosi. Menyusunnya, namun terdapat
sedikit ikut campur oleh otak kecil di bawah sadar.
Hingga pada akhirnya, terlontar sudah keputusan, yang menurut ku adalah
sebuah win-win solution.
Sedangkan lawan bicara ku saat itu
adalah orang yang sangat keras kepala, tak mempercayai sebuah win-win solution itu benar-benar ada.
Sangat berat, sepertinya nafas ku berhenti sesaat ketika semuanya hendak
terucap. Air mata tak bisa terbendung.
Keheranan muncul, entah mengapa
keputusan-satu-sisi ini mengagetkan kedua belah pihak. Apakah pemikiran yang
kurang matang atau perundingan sang otak dan sang hati yang tidak menemukan
titik terang?
Konflik bermunculan. Tak henti-hentinya. Mengorbankan orang-orang di
sekitar. Konspirasi mulai disusun. Sedangkan diriku yang polos, hanya menerima
kenyataan. Berharap pada sebuah bayangan abstrak, dengan waktu yang sangat
infiniti.
Menunggu sesuatu yang sangat tak pasti, dengan berbagai batu karang
yang menghadang di jalan.
Tiba saatnya, yang biasa mereka sebut klimax, meniupkan anginnya.
Ketika hati sudah terlalu banyak menahan luka, tak bisa menahan lagi beban yang
dipikul, meledak lah, lalu bersua kepada sang otak, berdamai untuk bekerja sama
keluar dari hal yang sangat tidak pasti ini. Sudah berapa banyak telinga,
mulut, air mata, logika, perasaan,nafsu, emosi, dan hati yang menjadi korban,
atas konspirasi yang telah dia buat.
Apalagi setelah semuanya telah lepas. Hilang semua notasi yang biasa
menghiasi kata-kata kita, walaupun sudah tidak lagi terikat. Komunikasi yang
telah ditiadakan dengan sengaja, kebohongan-kebohongan yang mulai mencuat hanya
demi harga diri, ataupun pembelaan di mata khalayak.
Terima kasih ku kepada mereka, karenanya aku bisa berpikir kembali,
tentang sang hati yang telah terlalu menderita sakit karena keegoisannya,
berkata sanggup dikala dia tak mampu. Sang logika mengetuk pintu hati, memasuki
dengan penuh sopan dengan langkah kecilnya. Dia berbisik kepada hati yang sudah
memegang pisau menuju nadinya, “coba pikirkan wahai Hati, apakah selama ini
yang telah kau lakukan benar? Apakah kamu benar-benar mampu? Apakah kau yakin,
semua yang telah kau lakukan ini akan mendapatkan balasan yang setimpal oleh
dia yang kau harapkan? Apakah kamu sanggup menerima kenyataan, apabila nantinya
semua itu salah? Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Coba pikirkan wahai
Hati...”
Sang hati terdiam, butuh waktu berhari-hari dia menjawab.
Hingga saat itu datang, sang hati yang telah melihat kenyataan dan
berunding dengan dirinya sendiri, mendatangi sang logika. Dia datang dengan
wajah sangat bersinar, sepertinya dia telah menemukan harapan baru, dengan
jawaban yang dia teriakan pada si logika, “YA! Aku telah melihatnya sendiri.
Dan aku memutuskan untuk melangkahkan kaki ke jalan yang baru! Maaf aku telah
menganggapmu tiada, dan mengabaikan semua tingkah lakumu di hadapanku. Sekarang
aku benar-benar membutuhkanmu! Tolong aku. Aku sudah terlalu letih menahan beban yang telah dia beri ke
pundakku. Luka ku sudah terlalu parah, bahkan perban yang mereka beri padaku
tak lagi bisa menutupnya. Tolong aku, aku hanya ingin bisa bernafas lega,
biarkan tekanan itu hilang dan pergi selama-lamanya. Tolong tunjukkan jalan
baru itu. Aku tak mau lagi dibutakan oleh kata-kata manis, ataupun
kebohongan-kebohongan itu. Kenyataan telah menamparku keras. Dan itu membuatku
sejenak tersadar. Tolong aku logika, sedikit perlihatkan kepadaku kemampuanmu
melihat jalan ke depan...”
Sang logika hanya tersenyum kecil, sepertinya mengerti saat ini akan
datang juga. Dia mendekap Hati, dan berkata dengan lembut, “Sebenarnya aku
sudah memiliki perkiraan dan pemikiran seperti ini sejak jauh-jauh hari. Tapi
kau lah yang tetap keras kepala. Bukan
maksud ku untuk mengajak kau menikung atau pun memilih jalan yang tak benar
untuk keluar dari tekanan itu. Tapi aku hanya ingin menunjukkan beberapa solusi
yang nantinya cepat atau pun lambat harus kau ambil. Namun, kembali lagi ke
keras kepala mu yang mempertahankan posisinya, seolah dia tak tergantikan,
padahal kamu tau aku sudah berkata bahwa dia sudah memiliki penggantimu, meski
aku tau hatinya belum tersampaikan. Jangan salahkan pada tingkah lakunya yang
menyebalkan ataupun kebohongan-kebohongannya, justru berterimakasih lah pada
mereka, karena mereka lah yang memaksa pada kenyataan untuk menamparmu,
sehingga tersadar dari lamunanmu selama ini. Sekarang berbaik lah kepadaku dan
aku akan menuntunmu pada jalan baru, dan kau akan menemukan angin segar, serta
rerumputan kebahagiaan di situ kelak. Aku juga tak mau bekerja sendirian, bantu
aku juga dengan perasaanmu, kita harus bekerja sama. Agar semuanya seimbang.
Mau kah kau berjanji dengan ku akan hal ini? Apabila suatu saat nanti terdapat
keras kepala ku, maka aku minta kamu pahami dan ingatkan aku. Agar tak ada penyesalan nantinya. Ingatkan
juga pada sang Nafsu, untuk tak banyak ikut campur tentang masalah ini. Katakan
padanya kalau kita akan memanggilnya ketika dia sedang dibutuhkan. Ya, kali ini
kita akan membutuhkannya, agar kau dan aku cepat bangkit dari keterpurukan ini.
Sudah, usap air matamu. “
Sang Hati bangkit menatap sang Logika, dan menyahut, “Wahai logika,
ketika suatu saat nanti kita telah melangkah, dan ingatanmu kembali ke masa ini
dan kemarin, aku minta kau untuk tidak menyesali apa pun dari semua ini. Tak
ada yang perlu disesali sebenarnya. Semua hal baik akan menjadi kenangan, dan
akan menjadi perbandingan nantinya. Sedangkan hal-hal pahit itu, jangan kau
lupakan, jangan kau jadikan penyesalan. Mereka yang menjadi sebuah pelajaran
bagi kita. Dan akan menjadi hipotesa pemikiran kita akan apa yang akan terjadi
nantinya. Aku juga minta agar kau dan aku bisa sama-sama mengontrol aksi dia,
sang emosi, lalu kita bisa tetap sejalan. Aku saip untuk bangun sekarang ...”
Setelah semua itu, gelisah, yang setiap pagi, siang, sore dan malam,
datang tanpa permisi ke bilik sang Hati, tak pernah datang kembali. Walaupun
terkadang sang Hati rindu. Tapi seketika sang Logika mengingatkannya.
Ini lah awal dari menghilangnya semua bayangan abstrak itu. Sang
gelisah yang selalu datang beramai-ramai hanya untuk mengobrak-abrik pikiran,
menginjak-injak hati, menyumbat aliran darah, memecut sang jantung, dan
membuang-buang air mata kini tak lagi berani mengetuk pintu.
Thanks to God, who has made these realities become so meaningfull. :)